Matahari Kecilku, Neira.
Ku buka perlahan pintu
kamarku yang berwarna hijau itu. Terlihat di dalam kamar mama yang sedang sholat malam. Aku menutup pintu lalu duduk di
lantai menunggu mama selesai sholat. Tak lama, sosok yang aku tunggu pun
datang. Dengan senyum yang selalu mendamaikan hatiku itu, terlukis pada wajah
mama yang mulai mengeriput. Langkah kaki mama kini telah sampai di depan ku.
Mama menyapa ku “Neira cantik, kok bangun?”.
Aku menggelengkan kepalaku sambil tersenyum malu. Aku mendekap tubuh
mama. Mendekap erat orang yang tak pernah aku ragukan kasih sayangnya.
Terkadang rasa sombong ini muncul, rasa sombong yang selalu mengatakan bahwa
hanya akulah yang mempunyai kebahagian ini. Aku terus memeluk mama. Dan mama
pun memebalas pelukanku itu. Hangat, nyaman, dan damai….yah, itulah yang ku
rasakan sekarang. Aku tertidur dalam pelukan sang mama.
Namun, pelukan itu kini harus aku bagi.
Setelah mama berpisah
dengan papa tiga tahun yang lalu, mama memutuskan untuk menikah lagi. Dengan
meminta izin pada kedua orang tua mama dan aku, pernikahan pun berlangsung di
masjid Jami Nur Hikmah, Cilacap. Aku melihat senyum mama semakin lebar…dan
semakin cantik. Aku tersenyum di balik keramaian para undangan.
Seminggu setelah penikahan
mama, aku diajak untuk tinggal di rumah pak Herman, nama papa baru ku sekarang.
Aku ingin menolak tapi aku takut mama akan sedih. Aku mengangguk pasrah. Aku
tak tahu apa yang akan terjadi di kehidupan ku esok hari? Aku tak tahu…apakah
esok hari aku masih bisa bercengkeramah dengan suasana desa nan sejuk ini? Dan
para sahabat ku… Acli, Poez, Pita… apakah aku masih bisa melihat mereka saat
pagi menyambut pagiku ?? sungguh aku tak
tahu.
Mobil warna silver milik
pak Heraman memboyong kami ke Bandung. Sesampainya disana, aku langsung masuk
ke rumah tempat parkir mobil pak Herman. Aku merasa ada yang berbeda. Ku lihat
sekitar, semuanya hampir sama…tak ada yang berbeda. “Mungkin disini lebih
dingin” kata ku dalam hati.
Aku bengong ketika seorang
gadis cilik seusia ku memanggil pak herman dengan sebutan “Ayah”. Aku melirik ke
arah mama. Mama menyambut anak itu dengan senyum khas mama. Dan itu membuat ku
sebal. “Siapa dia?” tanyaku penasaran.
“Ayo, masuk “ ajak anak
gadis itu pada ku dengan nada sedikit manja. Tanpa senyum dan kata-kata, aku
langsung mengikuti langkah mama dari belakang. Rupanya, kedatangan kami
disambut oleh keluarga pak Herman. Semua orang terlihat penuh suka cita, tetapi
tidak dengan ku.
Semua orang di ruangan itu
sibuk menanyakan tentang mama, tapi tidak dengan ku. Layaknya orang jawa
seperti pada umumnya, Mama menanggapi pertanyaan itu dengan santun dan lemah lembut
tak lupa senyum manis mama. “Mama liat aku disini, ma…mama…liat Neira,” pintaku
dalam hati.
Usai bercakap-cakap,
seorang wanita tua berkrudung cokelat pun mempersilakan kami untuk istirahat.
Mereka meninggalkan kami. Kini hanya ada aku, mama, pak Herman, dan gadis cilik
manja itu. “rasanya pengen deh, ngambil sapu terus nyapu si gadis cilik itu,
terus… buang dia ke tempat sampah” ucapku masih dalam hati.
Sebulan tinggal bersama,
tetapi rasa keterbukaan ku seakan lenyap. Aku jadi pemurung dan penutup. Aku
tak seceria dulu karena pelukan mama telah terbagi. Setiap selesai sholat dan
ngaji, aku menghabiskan waktu ku berlama-lama menyendiri di depan komputer.
Menulis setiap peristiwa yang aku alami kemudian ku kirim tulisan itu pada
salah seorang sahabat yang aku anggap paling mengerti keadaan ku. Semua
perasaan ku aku tuangkan dalam setiap lembar kaca. Ternyata yang dulu Acli
alami, sekarang menimpaku. Memiliki papah dan sodara tiri itu menyakitkan. Ke
hadiranku seolah menjadi pelengkap saja
bukan sebagai anggota keluarga.
Di usia ku yang ke 18. Aku
harus mengalami kejadian ini. Beruntunglah mereka yang mempunyai keluarga
kandung. Setidaknya, mereka mempunyai ikatan persaudaraan yang erat tanpa ada
rasa canggung menyelimuti hati.
Beberapa jam setelah surat
ku terkirim, terlihat pesan masuk di facebook. Ku baca setiap kata dari pesan
tersebut .
Untuk sahabat unyu ku, Neira…
Ra, tetap semangat dan
tersenyum selalu ya?. Dunia ini keras…kaya batu di kali Cipicung yang gede-gede
banget… tapi batu gede itu bisa pecah kok ra, kalo tiap hari kita pukulin tuh
batu, lama-lama juga pecah …. Rara cemungut iaaa?
Dari
Acli sisipoez 507
Aku membalas pesan tersebut
“Iya cli…. Aku harus tetap semangat dan tersenyum
untuk memecahkan batu dalam hidup ku”.
Air mata menetes perlahan.
Ku ambil sampu tangan warna hijau muda di sampingku, ku usapkan pada pipi cabi
ku. “Iyah, aku harus memecahkan batu dalam hidupku secara perlahan-lahan”…
memecahkan perasaan terkucilkan ini dan mengubur rasa egois ini karena aku
bukan anak kecil lagi sekarang” kata ku sambil melog-out facebook. Kemudian memulai bercengkeramah dengan dunia
nyata ku. Dunia yang akan menyediakan peluang untuk membuat keluargaku akan
menghargai kehadiranku.
Pengumuman kelulusan
siswa-siswi SMA menjadi momok yang menakutkan bagi kami para siswa-siswi yang
telah usai melaksanakan Ujian Nasional. Tapi atas izin Alloh SWT, Susana pun
berubah menjadi indah… keluargaku (mama, pak Herman, Amira alias gadis manja
itu) tersenyum kepadaku. Mereka menjabat tanganku. “Hebat” kata pak Herman.
“Iyah, makasih pah”. Aku mengucapkan kata itu meski malu-malu. “Apah ? pah?”.
Pak Herman kaget di balik senyumnya.. “Kakak, selamat ya” ucap Amira dengan
nada manjanya. “Iya de…makaciiih ya ade ku” balas ku dengan nada manja juga.
Semuanya tertawa…semuanya telah berubah.. “Jangan lupa, belajar lagi ya? Buat
SNMPTN 2012 nanti” saran mama pada ku… “Iya mama”. ^_^
Karya : Dewi Purwati
Blog : www.dewipurwat.blogspot.com
E-mail: Purwati_dhewi@yahoo.co.id
Twitter: Dewi507
Comments