Berita dari Si Biang Gosip



"Aku nggak habis pikir sama pikiranku yang nggak habis-habis mikirnya. Sampai sampai sekarang pun aku masih bisa mikir. Kenapa aku harus mikir "kenapa?". Kenapa aku harus pake rok? Kenapa aku harus bangun pagi? Kenapa aku harus bawa tas? Kenapa aku? Kenapa harus aku? kenapa? Kenapa coba? Kenapa enggak dicoba? Kalau enggak dicoba, mana tahu ini cobaan? Aaaaargh." Kataku menggerutu.


"Padahal di rumah, nggak ada satupun setelan bajuku yang ada roknya. Nggak ada. Gila. Iya, aku harus gila sekarang. Sejak Ibuku mengamendamenkan undang-undang terbarunya. Semua anak-anaknya wajib bin kudu pakai banget, sekolah. Sekolah is number one. Sekolah is number-number one. You know-lah" Kataku nyerocos dalam hati setelah duduk manis mendengar berita terkini dari si biang gosip, Arafah.


"Eits... brandednya aja si biang gosip, kenapa gue musti percaya sama omongannya?" Hmmmm." Aku meliriknya.

Dia masih nyerocos tak henti-hentinya. Dia mengklaim bahwa kemarin sore, Ibunya yang se-gank sama Ibu ngegosib ria dengannya.

Aku mengernyitkan dahi. Seolah otakku terbelah menjadi dua kubu. Dua kubu yang saling bertolak belakang. Berseberangan. Antara harus percaya atau tidak.

"Gue kemarin ngobrol gitu sama Nyokap gue di Princess Coffe di Jakarta. Jadi Nyokap gue bilang kalo nyokap loe juga ikut ke sekolah menengah pertama "Bina Bangsa." Konon katanya, banyak sekali keganjilan-keganjilan di sekolah ini, Fur." Katanya dengan bahasa dibikin gaul.

Aku setengah tertawa mendengarnya bercerita. Umur kami baru menginjak 12 tahun. Itu berarti sudah 6 tahun terlewati semenjak guru kami mengajar "I eN I Ni Be U D I" dan nyanyian-nyanyian horor "Topi saya bundar. Kalau tidak bundar bukan topi saya." Sementara sekarang, Arafah seolah ingin menggantik lirik lagunya menjadi "Topi GUE bundar, kalau nggak bundar bukan topi GUE." Mungkin dia sudah lelah dengan semua ini. Aku justeru tertawa sendiri.

"Kamu lelah, Fah?" Tanyaku sembari menyembunyikan tawa.

"Enggak."

Dia mulai melanjutkan ceritanya. Tetapi karena melihatku seperti tidak ada yang beres, sehingga dia tanya.

"Kenapa loe, Fur?" Dia mulai curiga.

"Kamu lelah sama nyanyian topi saya bundar. Jadi sekarang kamu rubah itu lirik jadi topi gue bundar? Soalnya dari tadi ngomongnya loe-gue."

Aku tertawa.


"Ya elah. Gue kira apaan. Loe nggak ngerti aja gue keturunan betawi asli. Enggak ada blasteran-blasteran kayak loe, Fur. Neira Furusawa. Blasteran Cilacap dengan Jepang. Jadi bahasa loe-gue. Bukan Nyong-Rika atau watasi-kimi."

Dia mencoba membela diri.

"Baiklah, baiklah."

"Lagian kite nih udah guede, masih pakai saya-anda. Formal banget, gila." Selanya.

"Ada slogan anak muda zaman now yang mengatakan bahwa disaat gue-loe menjadi aku-kamu, disitu tingkat kebaperan mulai ada."

"Hmm....begitu ya?" Tanyaku.

"Tuh kan, gue jadi lupa tadi udah cerita sampe mana."

"Sampai lupa."

Dia meliriku sebal.

"Oh ya. Jadi di SMP "Bina Nusa" itu banyak sekali keganjilan yang terjadi. Ini kata kakak kelas gue." Sambungnya.


Kalo ganjil tinggal ditambah bilangan ganjil lagi aja biar genap, Fah." Saranku mulai ngebanyol.

"Ebuset. Gue serius, Fur. Loe lihat deh jalan Sudirman. Rame kan?! Iya, ramelah."

"Terus apa hubungannya sama keganjilan-keganjilan di sekolah itu, hah?!"

"Enggak ada."

"Hisssst."

"Nah, kan enak dikerjain balik."

"Oke, gue serius dengerin." Kataku sembari mengikuti gaya bicaranya yang asik ber-loe-gue-an.

"Jadi, kakak kelas gue namanya Hera. Tahu nggak kenapa namanya hera?"

"Loe nggak tanya emaknya emang?"

"Enggak."

"Besok loe tanya, kenapa di-hera seperti ini ada makluk senggak berguna kaya loe."

Kami tertawa.

Dibalik sifat menyebalkannya itu, dia masih bisa diajak berkongsi denganku. Nyebanyol-ngebanyol time.


"Heh, gue belum selesai ceritanya."

"Gue tahu, besok dijelasin juga...
Gue yakin. Cerita loe enggak kelar-kelar."

"Hambali. Hambali Pratama. Itu nama kakak kelas gue yang bilang gitu. Dia sering banget mergokin hantu sekolah menyusup ke tubuh temen-temennya." Katanya mulai serius.

Aku mulai tertarik. Entah karena tidak ada sinyal wifi yang nyangkut di handphoneku atau memang karena ceritanya. Aku memandangnya kemudian. Namun, pikiranku mengikuti alur ceritanya. Bahkan membayangkan, seandainya aku menjadi Hambali. Apakah benar aku bisa memergoki hantu? Entahlah.


Penulis: Dewi Purwati

#cerbung
#ceritabersambung
#fiksi
#fiksiremaja
#bacaansantai
#temanbaca





Comments

Popular posts from this blog

Fakta dengan Konteks

Istiqomah menjadi seorang istri

Kebohongan Pertama