~ Potret di Ujung Senja ~ I

BAB I 
Kota Metropolitan



"Untuk menjadi seorang fotografer, kau harus mempunyai mata yang indah, Nak." Ujar lelaki setengah baya itu pada seorang bocah kecil yang masih terheran-heran dengan tongkat berkaki 3 itu.



Setengah ingin bertanya tapi dia hanya memainkan jari-jemarinya.

Lelaki itu menatap bola mata itu. Suci. Dan ia tersenyum padanya. Sementara si anak itu tersipu-sipu.

"Ini mainan apa?" Tanyanya.

Lelaki itu tertawa. "Jika seorang penulis mengukir sejarah dengan penanya, maka seorang fotografer akan mengukirnya dengan potret."

"Jadi ini alat untuk main ukir-an?"

"Bisa jadi, kau mau mencoba?" Tawarnya.
"Boleh?"


"Tentu.... Karena sejarah akan selalu berjalan. Dan kau, si pengungkit masa. Kabarkan kepada dunia bahwa.... Aku pernah ke sini. Di bawah langit yang sendu, Kotaku. Kemana pemuda kian ke kota? Padahal ladang menghampar amba?"

Aku kembali menatap wajah bocah kecil itu. Dia terheran-heran akan perkataanku barusan. Aku tertawa. 

"Kau jadi mau coba?" Tawarku untuk yang kedua kali.

Kali ini, dia lebih sigap. Ya, sebaiknya seperti itu. Aku tahu, untuk lelaki seumuranmu, perkataanku tak lebih menarik dari suara bel pulang sekolah. 

Aku mulai memberikan instruksi kepadanya. Mulai dari nol, tanpa sedikitpun rasa takut bahwa kameraku akan segera rusak. 

"Kak, ini gimana?" Tanyanya polos.

Aku mengamatinya seketika. Rupanya dia lebih tertarik memainkan kamera daripada menangkap gambar.

"Oh baiklah.... Boy, kau sangat pemula rupanya. Hahaha." Aku tertawa.

"Saranku, kau pelajari saja dulu tekniknya. Aku ada buku panduan. Kau bisa pinjam dariku atau bisa membelinya di toko buku. Atau mungkin juga, jika kau seorang yang pantang menyerah, bisa menghubungiku di nomer ini. Nanti bisa konfirmasi untuk belajar lebih lanjut " ucapku sembari memberi secarik kartu nama. Dalam hatiku setengah berdoa. Semoga tidak hilang ya, Boy.


Dari arah belakang, ada sumber suara. Memanggil nama "Bima." Karena merasa bukan pemilik nama, aku pun terdiam. Sumber suara itu kian jelas diiringi dentuman langkah kaki. Memang tak lebih keras daripada bunyi kendaraan sekitar Jalan Sudirman yang senantiasa ramai. 

"Aduh, Bima. Dicariin kemana aja." Kata seorang perempuan berkerudung merah.

Aku menengok ke arahnya. Tetapi perempuan itu seolah berat sekali membalas tengokanku. 
Aku tertunduk kemudian melihat reaksi anak kecil itu. Ternyata namanya Bima, kau Boy.
Bima terlihat menahan ketakutan. Kupikir perempuan ini adalah jenis makhluk mengerikan dari Mas Tamara, cewek jadi-jadian dari Kota Atlas, Semarang.

"Mas Tamara..." Sapaku padanya. Tergelincir lidahku karena mengingat warna pakaiannya sama dengan Tamara terakhir kuliht di Simpang Lima Semarang.

Perempuan itu menoleh. 

"Siapa ya?" Tanyanya heran.

Aku tergagap. "Aaaanu.... " Antara khawatir dia marah dengan kelucuan. 

"Aaaanu..... Hahaaa." Akhirnya aku tertawa.

Perempuan itu terheran-heran, kemudian loading. Sampai akhirny dia marah.

"Apa? Anu ....?! Kau laki-laki cabul. Lo pikir gue enggak ngerti arti anu. Hah?! Sialan." Makinya


"Bukan, itu bukan."

"Bukan, apa cabul. Sini, Bima ikut kakak." Perempuan itu terbirit-birit sembari menggandeng Bima.

"Sial. Dia mengenalku cabul."
Aku merapihkan kamera. Dari arah tas, keluarlah kertas. Aku mengambilnya sembari duduk dan membaca. Khawatir kertas tersebut berisi hal penting.
"Hi Virgo, hari ini kamu bakal ketemu jodoh kamu Lo. So, jangan bikin do'i ilfeel....."
Aku mulai membaca tulisan dan terhenti seketika setelah mengingat perempuan yang barusan bertemu.

"Ketemu jodoh? Jangan bikin ilfeel do'i? " Aku mulai berfikir dan menampikkan.
"Aish sial. Mana ada jodoh. Kau pikir aku suka Tamara KW?!" Aku mulai meremas kertas tersebut dan melemparkan ke sembarang tempat.
"Hyaaaa! Enyahalh kau Tamara KW ?! Mending aku jomblo dah sampai besok." 

Segera membenahi peralatan dan bergegas pulang. Menelusuri lorong bus Transjakarta, mengental kartu dan berdesak-desakan menuju kontrakan.

"Ah, sial......"




#cerbung
Karya: Dewi Purwati

Comments

Popular posts from this blog

Fakta dengan Konteks

Istiqomah menjadi seorang istri

Kebohongan Pertama