Gelas

"Semakin keras suatu benda, kenapa justeru semakin mudah dipecahkan? Berbeda dengan benda yang lentur. Kenapa demikian? Ah susah sekali aku mempercayainya. Bukankah untuk mejadi keras dibutuhkan waktu dan proses yang lama serta sulit." Kataku sembari merai gelas palstik berwarna hijau.
"Hei kau sudah bosankah denganku?" Tanyaku setelah menggenggamnya.Dalam imajinasiku, gelas itu menangis.
"Bukan. Aku hanya sudah tahu kapan waktunya untuk bertahan. Mungkin inilah kualitasku sebanding dengan hargaku. Selamat tinggal tuan."
Gelas itu terdiam dan kembali seperti semula.
"Hei..kenapa..kenapa harus dengan cara seperti ini engkau menguji dirimu?"
Tak ada jawaban. Kesal. Mencoba meraih  gelas yang lain. Kali ini, aku memilih gelas dari kaca. Menuangkan serbuk hitam dari sebungkus Kopi ABC rasa moca.
Tak lama, aku telah siap menuangkan air panas dari termos. Segurat senyum menantikan aroma kopi kesayangan. Entah kenapa hanya kopi menjadi teman setia selain notebook. Beginikah nasib estafet muda bangsa? Ahhh...mungkin mereka akan mengidap kafein terlalu banyak.
"Krek"terdengar suara lirih.
Kulihat segaris putih menghiasi gelas disusul tumpahan air panas.
"Ah...apa ini? Owh tidak. mana lap???"belum sempat meletakan termos, mataku sibuk mencari lap.Kuberishkan segalanya. termasuk kepenatanku.Hanya ada gelas plastik  dan gelas kaca yang retak.
"Sepertinya, aku masih membutuhkanmu sebagai tempat pensilku," ujarku menyimpulkan. Sementara gelas kaca tersebut diletakan pada tempat sampah. "Tak ada kopi, malam ini. Semuanya telah pecah dan semuanya telah terpecahkan. Engkau adalah pilihanku wahai gelas hijau. tetaplah bersamaku tak perduli harga dan kualitasmu, kau terlanjur setia bersamaku."

Penulis: Dewi Purwati
E-mail: Purwatidewi507@gmail.com
            Purwati_dhewi@yahoo.co.id

Comments

Popular posts from this blog

Fakta dengan Konteks

Istiqomah menjadi seorang istri

Kebohongan Pertama