Ukhti karateka (Fiksi)

Menjelang kenaikan sabuk, Neira sibuk latihan ketahanan tubuhnya.Usai sholat Shubuh, dia langsung berubah bak power ranger. Mamanya kaget melihat anak gadis semata wayangnya pergi pagi-pagi buta.
“Lho, kamu mau kemana Ra?”
“Mau jogging ma, biar sehat dan kuat. Ya udah ma, Neira mau berangkat dulu. “Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam,” jawab sang Mama masih tertegun.
Baru beberapa langkah Neira keluar dari rumah, di jalan dia melihat sosok berwana putih. Neira mulai memperlambat langkahnya. Dia bimbang antara meneruskan langkahnya atau balik lagi ke rumah.
“Apa sih itu, udah jam segini kok ada makhluk yang belum ngandang ke dunianya sih? haduh…tuh kan jika ada warna yang paling menyebalkan itu adalah warna putih. Entah kenapa warna tersebut selalu membuatku gemetaran seperti ini. Mungkin karena aku teringat akan kematian. “
Sosok tersebut kian lama, kian jelas. Bahkan dia berbalik menatapnya. Neira berhenti seketika. Sosok tersebut justru menyapanya.
“Hai Ra?”
“Iya?”
“Mau kemana pagi-pagi?”
Neira terus mendekat sembari menyeringai sosok tersebut.
Dan dia tertawa setelah mengenali sosok tersebut.
“Hahaha…”
“Kenapa Ra?”
“Hahaha….”
“Ikh, ditanya malah ketawa.”
Asri menampakan muka betenya. Bukannya berhenti, ketawa Neira justru semakin keras. Hingga dia tak sadar ada laki-laki tengah mengamatinya. Neira langsung membungkam mulutnya sendiri.
“Ups…”
Melihat kelakuan Neira, Asri Cuma bisa geleng-geleng kepala. Setelah laki-laki tersebut melewati mereka berdua, Neira baru bisa membuka suara.
“Haduh, malunya,” keluh Neira kemudian.
“Ada apa sih?”
“Ya udah sih ntar aku jelasin. Ngomong-ngomong kamu nganggur ngga? Mending nemenin aku jogging aja yuk?”
“Iya, ntar. Aku mau pulang dulu nyimpen mukena dulu.”
“Wuih…dari Mushola kamu sob?”
“Iya dong. Hahaha…”
“Jangan bilang, kamu ketiduran di Mushola,”
“Lho…kok kamu tahu?”
“Iya lah, kan beritanya udah kesebar.”
“Siapa yang nyebarin sih?”
“Siapa lagi kalo si Bunga.”
“Siapa lagi tuh Bunga? Makin ngga mudeng.”
“Dzakira Liana Arum Sulistyaningsih Marta Nuraini atau panggil saja Bunga.”
Mereka berdua tertawa.
“Dasar tuh emang. Jangan-jangan udah nyampe di Media sosial ya? Haduh.”
“Belum, tenang aja. Di sini dia bakal kekurangan sinyal.”
Rumah Asri sudah terlihat. Dia bergegas masuk dan gnati pakaian. Sedangkan Neira duduk di teras menunggu sahabatnya. Mereka berdua saling tersenyum dan siap menakhlukkan pagi ini.
“Bismillah, Allahuakbar.”
Melihat tingkah Neira, kini giliran Asri yang tertawa terbahak-bahak.
“Duh…kenapa sih?”
“Gayamu coy, Ora patut. Hahaha…”
“men yah, dhewek-dhewek.”
“Owh ya wis, goo….”
Kali ini mereka berdua bersama-sama mengucap Bismillah. Star dari rumah Asri di Karangpucung kemudian berlari. Awalnya mereka saling berkejar-kejaran. Lama-kelamaan capek mengertai mereka. Asri berhenti sambil sedikit membungkuk kemudian melihat kedepan Neira masih berlari.
“Woi…tungguin,”
Neira terus berlari. Neira baru sadar sahabatnya tertinggal jauh ketika sudah sampai simpangan Suryan.
“Lho, nih bocah ngilang kemana lagi?”
Karena khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan maka Neira berinisiatif menunggunya. Hampir 15 menit menunggu, sosok yang diharapkan tak muncul juga. Dia pun akhirnya berbalik arah. Tiba-tiba dari arah kanan terdengar suara Asri memnaggilnya.
“Ra, sini deh.”
Neira menoleh ke sumber suara. Dia langsung melipir ketika melihat bela diri di sana. Dalam hati merasa gemetar dan bertanya, kenapa sahabatnya musti terperangkap di sini? Neira terdiam seribu bahasa, sementara Asri tengah sibuk bertanya mengenai bela diri karate. Berbeda dengan Asri, Neira menahan rasa canggung dan mengamati lingkungan sekitar. Dia awam sekali dengan kondisi seperti itu. Pasalnya Neira selalu diajari cara menjadi Akhwat yang Sholehah. Bahkan, bulan depan dia akan dimasukan oleh orang tuanya ke pondok pesantren. Tetapi, Asri tahu bahwa temannya melakukan semua atas dasar keinginan orang taunya saja. Dia sebenarnya memunyai sosok tomboy dan apa adanya. Hanya saja, dalam menghadapi orang-orang asing dia selalu merasa canggung dan kikuk.
“Saya daftar deh.” Kata Asri mengagetkan Neira.
Neira melotot. Dia sangat kaget tetapi dia tahan sampai mereka berdua benar-benar keluar dari tempat tersebut.
“Aduh…Sri. Kamu mau nyari masalah ya?”
“Ngga. Aku Cuma mau mencoba sesuatu yang baru. Bukankah selama ini kamu merasa bahwa kamu terbelenggu dengan sosok bukan dirimu?”
“Iya sih. Tapi bukan dengan masuk menjadi anggota karate.”
“Kan waktu SD kamu suka ngehajar anak-anak nakal di sekolah.”
“Tapi sekarang kondisinya beda. Aku mau berubah.”
“Berubah? Jadi power ranger?”
Asri tertawa.
“Iya, mau jadi green ranger. Puas?”
“Puas Ra. Puas banget.”
“Dih…nih orang bisa bikin bĂȘte juga.”
Neira terus melaju pulang. Rencana jogging gagal, dia memutuskan untuk pulang. Mandi, habis itu membantu Mamanya membuat pesanan makanan kemudian mengantarkan pada langganan Mamanya yang kebetulan membuka jasa katering.
“Ra, ntar kamu anter makanan di sana ke rumah Bu Kiki ya. Rumahnya di Sidareja. Hati-hati ya bawanya. Jalan di sana lumayan bagus alis jelek.”
“Apahhh? Sidareja? Wah ketemu lagi sama jalan Cinangsi deh.”
Mamanya tersenyum.
“Ya makanya hati hati ya?”
Satu jam kemudian, Neira telah siap dengan perlengkapan sebagai pengendara motor yang baik. Memakai sarung tangan, helm, masker dan tak lupa membawa STNK. Karena umur Neira masih 16 tahun dan baru akan masuk SMA favorit se Cilacap Barat, SMA N 1 Majenang, sehingga dia hanya membawa peralatan seadanya.
“Mungkin Pak Polisi akan memaklumi anak imut sepertiku,” katanya sembari senyum-senyum sendiri.
Sepanjang perjalanan, dia bertemu dengan anak-anak nakal. Mereka mengendarai motor ugal-ugalan. Bahkan tak pandang jalan mulus atau berlubang mereka tetap menyalip. Neira geram melihat kondisi tersebut, dia memencet klakson. Hal ini membuat mereka marah. Usai melewati Cinangsi, Neira langsung tancap gas. Dia sebal setengah mati. Dalam keadaan tersebut, dia hanya bisa berimajinasi dimana Neira berubah menjadi sosok power ranger dan mereka adalah monsternya. Neira tertawa ketika membayangkan monster tersebut menyemburkan serbuk listrik bercahaya karena pedang sang power ranger. Tanpa disadari, dia melintasi jalan berlubang dan dia pun terjatuh. Makanan untuk Bu Kiki pun berceceran di jalan. Dia Cuma meratapi nasib. Di saat seperti itu, dia justru teringat dengan ajakan Asri untuk ikut karate. Dalam hati dia mengiyakan dan akan berusaha keras. Sepulang dari Cinangsi, dia mendapat omelan sang Mama. Bahkan kali ini, Neira mendapat hukuman tidak boleh mengendari motor sendiri.
Minggu-minggu menjelang masuk SMA, Neira dan Asri sibuk dengan latihan mereka. Beruntung sang pelatih berbaik hati. Biaya latihan 100% geratis karena ternyata pelatih tersebut tidak lain adalah teman kakaknya Asri. Neira menghela napas lega. Dia merasa Tuhan sedang berpihak padanya sebab dia sedang menabung untuk membeli mukena terbaru ketika masuk pondok.
Hari pertama melakukan pelatihan, mereka berdua melakukan perkenalan setelah itu berlari dan pemanasan. Pemanasan lebih lama karena untuk ketahanan mereka suapaya fisik mereka kuat. Tetapi Neira mengeluh dan akan mengancam pada dirinya sendiri akan keluar jika hanya pemanasan saja yang diberikan sang pelatih. Asri tau tipe Neira adalah makhluk yang akan bangkit ketika ada orang yang mengejeknya. Ibarat rumput, neira baru akan berusaha tumbuh ketika diinjak orang. Benar saja, Neira langsung mengangkat tangan kanannya sembari berucap. “Semangat.” Hal ini membuat Asri tersenyum karena dia ada teman untuk latihan. Tiga minggu berlatih, Neira pun sudah paham dengan gerakan karate. Bersamaan dengan persiapan MOS, Neira tak luput apalagi absent latihan. Kadang dia bersyukur karena Mamanya memberikan hukuman tidak boleh mengendarai motor sebab dengan begitu dia tidak akan diminta untuk mengantarkan makanan dan dia bisa latihan. Saat itu, Bapak Neira sedang sakit sehingga terpaksa ibunya meminta bantuan Neira untuk mengantar makanan. Dia diberi uang bus. Dia menangguk. Kali ini perintah ibunya berhasil dilaksanakan dengan baik.
MOS memang tradisi yang masih tren. Dimana sang Senior berlagak sok keren dan mondar mandi di depan calon didik baru. Salah satu diantara mereka ada yang iseng terhadapnya. Dia pun merasa dikerjain. Ingin rasanya membalas tapi dia tahan. Menurutnya hanya akan membawa masalah ketika dia membalas disaat yang tidak tepat.
Usai MOS, semua peserta telah resmi menjadi Siswa SMA N 1 Majenang. Termasuk Neira. Dia berangkat sangat awal. Karena harus menunggu bus jurusan Purwokerto/Cilacap-Banjar/Ciamis/Tasik sehingga dia memutuskan menunggu bus jam 05.30. Hari Senin memang Bad Day buat Neira karena hari tersebut bus pintu dua akan penuh ditambah lagi para pedagang yang membawa barang dagangannya ke Pasar Cimanggu. Neira hampir menangis ketika jam menunjukan jam 06.15 menit. Tiba-tiba, bus berhenti saat Neira melambaikan tangan kirinya. Segera Neira memasuki bus tersebut. Meskipun berdiri, Neira sangat berterimakasih tidak akan telat sebab bus pintu dua terkenal suka ngebut dan keluar masuk Kantor Polisi Cigobang, Majenang.
Dari kaca pintu depan, Neira melihat sosok Kakak kelas yang tempo hari mengerjainya. Dia memutar otak. Tetapi kondisi tidak memungkinkan untuk mengerjai balik. Dia melihat Kakak kelas tersebut tidur dengan lelap. Dia baru tersenyum setelah bus turun di depan SMA tetapi kakak kelas masih sibuk dengan mimpinya.
“Wah…kira-kira tuh sempai (senior) mau bangun di daerah mana ya? Banjar/Ciamis atau Tasik?” Saking gelinya, Neira tertawa sendiri. Dari kejauhan, Pak Satman yang hampir tak pernah tersenyum itu mulai melaksanakan tugasnya, mengunci gerbang. Neira kaget sangat kaget karena posisi masih berada di seberang jalan. Kendaraan tak mau berhenti. Neira mengaduh. Setelah sepi barulah Neira menyebrang dan berlari.
Entah kenapa, saat itu langkahnya terasa cepat.
“Mungkin ini karena pemanasan Karate, selalu lari.”
“Lagi apa kamu, sana masuk !”
Mendegar interuski dari Pak Satpam tersebut, Neira langsung pergi meninggalkan Gerbang dan Pak Satpam.
Di kelas, Neira bertemu Asri.
“Telat kamu sob?”
“Definisi telat menurutku adalah ketika seseorang yang menunggumu sudah berada tepat dihadapanmu. Jadi semua bukan masalah waktu hanya siapa yang lebih terlambat dari si penunggu. Bukankah begitu temans ?”


  • Karya: Dewi Purwati
  • E-mail: Purwatidewi507@gmail.com
  •         : Purwati_dhewi@yahoo.co.id
  • Twitter: @Dewi507

Comments

Popular posts from this blog

Fakta dengan Konteks

Istiqomah menjadi seorang istri

Kebohongan Pertama